Kita
harus bayar tiket masuk berdua 500THB (IDR200an ribu). Suasana desa mirip perkampungan suku Sasak di
Lombok. Jalanan desa masih tanah liat, rumah-rumah dengan atap jerami berjajar
rapi sebagai tempat “display”. Entah
kenapa rasanya jadi kurang nyaman, melihat para wanita berleher panjang seperti
dipajang menanti turis. Di setiap rumah, mereka menjajakan kain, atau hasil
kerajinan desa sambil melayani foto dari para turis (termasuk saya). Desanya pun cuma kecil
seputaran habis, tapi kan penasaran karena belum pernah.
Konon,
suku Kayan (bagian dari suku Karen) yang tinggal di desa ini asalnya dari Burma
(Myanmar). Mereka terpaksa mengungsi ke wilayah Thailand karena terjadi
perselisihan dengan junta militer akhir tahun 1980an. Sedihnya, mereka
ditampung oleh pemerintah Thailand sebagai tapi
dibatasi geraknya, tidak boleh meninggalkan wilayah desa ini. Mereka
tidak bisa kerja seperti orang Thai pada umumnya. Kerjaan mereka ya “jualan” di
desa ini, bahkan banyak turis asing yang menyebut desa ini seperti “human zoo”.
Katanya anak-anak mereka sekarang sudah boleh ke sekolah umum, karena generasi
tua banyak yang tidak bisa bahasa Thai.
Perempuan
suku Kayan di desa Long Neck Karen ini juga disebut sebagai “giraffe woman”. Menurut sejarahnya, awal
mula mereka dulu pakai kalung di leher itu untuk menghindari dari serangan
binatang buas karena hidupnya di hutan. Entah gimana cerita kemudian kalung di
leher menjadi lambang kecantikan. Mereka harus menggunakan kalung di leher dan
kakinya sejak kecil biar cantik. Makin panjang makin cantik, dan katanya mereka
tidak boleh melepas kalungnya terlalu lama karena bisa patah leher…kita liatnya
kok ngilu ya. Kalau mau cantik mbok ya pakai bedak ama gincu aja sii..tidak
menyiksa .. mereka betul-betul
menghayati beauty is pain L
Many homework on the continual hunt along with offstage on the road to winning. Definitely not attached, simple to-fall as a result of wayside; And not investigation, afterward into a path travel toward the black. neck pain
ReplyDelete