Regionalisme merupakan suatu kebijakan dan state project dimana negara dan aktor non-negara bekerjasama dan
mengkoordinasikan strategi demi
mencapai kepentingan dalam suatu kawasan tertentu. Tujuan dari regionalisme
adalah untuk mengupayakan dan mempromosikan tujuan-tujuan
bersama dalam satu isu atau lebih. Meskipun dalam perkembangannya regionalisme selalu disertai
anomali dinamika spesifik dalam tatanan geografis, politik,
ekonomi, strategis, dan budaya
di
suatu kawasan,
namun regionalisme juga berkembang
dengan disertai norma-norma, tren,
dan nilai-nilai
tertentu yang berlaku pada konstelasi kawasan.[1] Dengan
difasilitasi oleh norma-norma bersama, institusi domestik dan interdependensi
tingkat tinggi, negara di dalam sebuah komunitas regional mempunyai
kecenderungan untuk bergabung dalam komunitas tersebut (terutama komunitas
keamanan) dan mengharapkan perubahan secara damai. negara melihat diri mereka
sebagai fundamental terkait dengan negara-negara lain, terikat oleh norma-norma
umum, pengalaman politik, dan lokasi regional yang saling berdekatan.[2]
Ide mengenai komunitas kamanan
berhubungan dengan perspektif yang berupaya untuk melihat proses pembelajaran
dalam lingkungan sosial dan pembentukan identitas dalam hubungan internasional
yang didorong oleh adanya interaksi dan sosialisasi. Pengembangan teori
komunitas keamanan pada masa pasca perang dunia II ditujukan untuk meningkatkan
kerjasama tanpa adanya kekerasan dalam hubungan internasional. Proses itu
memungkinkan sebuah proses damai dan melaui persepsi dan identifikasi para
aktor. Dengan demikian dapat dijelaskan mengapa negara meningkatkan rasa saling
ketergantungan dan responsivitas, mengembangkan rasa saling memiliki, dan
menghindari penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik.[3]
Regionalisme
sendiri memiliki pejalanan sejarah yang panjang, dimana isu regional ini
pertama kali muncul pada Perang Dunia I, antar negara- negara Eropa yang saling
berkoalisi satu sama lain untuk menumbangkan lawannya dalam arena perang.
Karena sesungguhnya jika dlihat dari para aktor negara yang terlibat dalam
Perang Dunia I, perang tersebut tidak dapat dikategorikan pada perang besar
mencakup seluruh dunia, namun hanya sebuah perang antar negara Eropa yang berebut
wilayah jajahan dan kehormatan bangsanya. Isu regionalisme ini kemudian
berlanjut pada pada banyak organisasi sekawasan setelah Perang dunia II, yang
dibuktikan dengan berdirinya Liga Arab dan Eropa Barat.[4]
Kemudian pengaplikasian pembentukan organisasi sekawasan ini dilanjutkan dengan
berdirinya banyak oganisasi- organisasi di Asia, diantaranya ASEAN, Asia Timur,
Asia Tengah, dll.
Dalam
menganalisa konsep regionalisme, sebaiknya digunakan pendekatan melalui
perspektif English School. English School merupakan sebuah aliran
yang muncul di Inggris pada periode 1970’an, di sepanjang Perang Dingin dimana
objek analisa utamanya adalah international society (masyarakat
internasional). Aliran ini memiliki pemahaman dan perspektif yang berbeda dalam
memandang studi hubungan internasional yaitu penolakan mereka pada tantangan
kaum behavioralis dan menekankan pendekatan tradisional yang berdasarkan pada
pemahaman, penilaian, norma-norma, dan sejarah manusia. Mereka juga menolak
setiap pemilahan yang tegas antara pandangan kaum realis semata dengan
pandangan kaum liberal tentang hubungan internasional.[5]
Teori English School digunakan untuk menganalisis pelembagaan kepentingan bersama dan identitas antara negara-negara di bawah aturan norma-norma
yang
berlaku.
Norma-norma yang berlaku di sebuah kawasan merupakan hasil kompromi dan
kesepakatan antara aktor-aktor regional. English School dibangun dari
hasil persinggungan 3 teori-teori Hubungan Internasional sebelumnya, yaitu
Realisme dalam sistem internasional (Hobbes/Machiavelli), Rasionalisme dalam
masyarakat internasional (Grotius), dan Revolusionisme dalam masyarakat dunia
(Kant).[6] Pada
perkembangannya English School mengacu pada tesis Grotius mengenai
masyarakat internasional yang dilembagakan melalui norma.
*tulisan ini hasil
karya Anggun Puspitasari,S.IP
(anggunpuspit@gmail.com)
[1] Louise Fawcett, “Regionalism
from Historical Perspective”, dalam Mary Farrel, et.al. (2005) Global Politics
of Regionalism. London: Pluto Press, hal. 24.
[2] G. John Ikenberry, Jitsuo
Tsuciyama, (2002), “Between Balance Of Power And Community: The Future of Multilateral
Security Cooperation In The Asia Pacific”, International
Relations of The Asia Pacific 2(1): 88.
[3] Amitav Acharya, (2000), Constructing Security Community in Southeast
Asia, London: Routledge, hal. 1.
[4] M Griffiths dan T O'Callaghan, (2002), International
Relations: The Key Concepts, London: Routledge. Hal 59.
[5] Andrew Linklater, (2005), “The
English School” dlm Scott Burchill et. Al. Theories of International
Relations Third edition, New York: Palgrave Macmillan, Hal. 84.
[6] Barry Buzan, (2004), From
International to World Society?: English School Theory and The Social Structure
Of Globalization, New York: Cambridge University Press, hal. 7.